Friday, December 24, 2010

Made in Christmas

Pagi ini, masih terkantuk-kantuk, gw dibangunin jam 6.30. Hehehe buat apa lg kalo bukan ke gereja buat misa Natal.

Gw ke gereja ma nenek tersayang,, Dan seperti biasanya, misa yang diadakan pada tangal 25 Desember pagi biasanya didedikasiin buat anak-anak,, Koor diisi oleh anak-anak, khotbah diberikan dengan cara yang kekanak-kanakan (hehe, maksudnya diberikan dengan bahasa yang sederhana dan materi serta intonasi yang ditujukan untuk audiens anak-anak gitu,,). Dan tentu saja, di sekitar gereja banyak penjual makanan ringan serta berbagai barang yang diharapkan bisa menarik perhatian anak-anak. Salah satunya adalah,, balon.

Ya, balon berwarna-warni, diikat dengan tali kenur yang dikaitkan dengan sebuah kerikil sebagai jangkarnya agar si balon tidak melayang ke angkasa.

Entah kenapa, setiap melihat balon, ingatan gw langsung tertuju ke masa kanak-kanak gw di Sekolah Dasar. Bukan karena gw suka dengan benda yang satu itu. Bukan karena gw pernah trauma mengalami balon meletus di depan muka gw. Tapi karena seorang teman.

Made namanya.

Dia adalah teman sekelas gw sejak kelas 1 hingga kelas 4.

SD gw adalah SD swasta. Namun demikian, tidak seperti stereotipi yang diberikan pada SD swasta pada umumnya, SD gw bukanlah SD khusus orang kaya. Gw aja bisa masuk kesitu gtu loh. Tapi banyak juga orang-orang kaya yang lebih memilih untuk memasukkan anak-anaknya ke SD swasta daripada SD negri.

Dan banyak juga orang-orang yang tinggal di daerah sekitar SD tersebut yang tidak ingin menyekolahkan anak-anaknya di SD yang jauh (walaupun murah) karena faktor biaya transportasi yang dapat muncul karena jarak yang jauh tersebut. Orangtua Made salah satunya.

Akibatnya, SD gw adalah melting pot dari anak-anak kaya dan anak-anak miskin. Made bersekolah di SD yang tidak hanya berisi anak-anak yang tiap hari berjalan ke sekolah, berkulit gelap kusam, berseragam bekas dan kusut, bertas lusuh dan tidak bergambar karakter kartun yang sedang ngetop di masa itu.

Made hampir setiap hari berada di satu kelas bersama anak-anak yang berkulit putih dan wangi, berambut halus dan dihiasi bando atau pita indah, beralat tulis lengkap dari pensil mekanik hingga stabilo berwarna-warni.

Dan bagi sebagian anak-anak itu, Made adalah suatu keanehan.

Made kotor, Made bau, Made miskin, Made bodoh, Made kampungan.

Made, si anak penjual balon.

Ya, itulah sebabnya balon selalu mengingatkan gw sama Made.

Karena gw adalah salah satu dari anak-anak yang hampir setiap hari menyerukan hinaan tersebut kepadanya. Made si anak penjual balon di alun-alun.

[Gosh, I'm feel my tears brimmin' as I'm writin' this now.]

Sampai sekarang, gw masih merasa menyesal atas diri gw di masa SD itu. Gw memang bukan anak dari keluarga berada, tapi gw cukup beruntung menjadi anak yang selalu dapet ranking di kelas. Guru-guru suka ma gw, banyak yang mau jd temen gw, dan itu membuat gw sombong.

Gw masih inget, saat gw terpaksa harus duduk bersebelahan dengan Made. Apa yang gw lakukan? Dengan sengitnya gw menggoreskan garis di meja kayu itu dengan mistar besi gw, dan menyatakan di depan mukanya bahwa tidak ada satupun barang ataupun anggota tubuh yang boleh melewati batas diantara wilayah meja kami masing-masing. Dengan angkuhnya gw berusaha mencondongkan tubuh sejauh mungkin dari Made karena gw beranggapan Made bau.

Gw masih inget, saat suatu hari di kelas ditemukan sebotol air minum plastik yang di dalamnya terdapat beberapa ekor belatung. Siapa yang langsung menjadi terdakwa pemilik botol tersebut? Made. Semua langsung dengan mudahnya mengambil keputusan bahwa Made, dan hanya Madelah, yang mungkin memiliki barang yang menjijikkan itu.

Apakah Made diam?

Tentu tidak. Made berusaha berbicara untuk dirinya sendiri. Made berusaha untuk membalas setiap ejekan yang dilontarkan padanya.

Tapi apa yang Made punya? Amunisi ejekan apa yang dia punya?

"Hai, dasar kalian orang kaya"? "Hai, dasar kalian yang bermobil"? "Hai, kalian yang buku-bukunya bersampul indah da lembar-lembar di dalamnya putih, tebal, dan bersih"?

Semua counter-attack yang Made punya tentunya tak berarti sama sekali, karena memang dia berbeda dari yang lain. Dan apalah efeknya menyerukan perbedaan itu. Tetap saja Made yang menjadi korban.

Sampai akhirnya Made pun mengambil langkah lain. Dia berusaha menyamakan diri dengan lainnya. Menyatakan diri sebagai anak yang juga berada. Menceritakan kepemilikan hotel, villa, dan berbagai bangunan lain. Bersikukuh bahwa dia bukanlah anak miskin seperti yang dilabelkan padanya selama ini. Kebohongan yang sangat wajar untuk keluar dari seorang anak kecil yang selalu dan selalu dipojokkan dan didiskriminasi.

Tapi tentu saja semua itu cuma membuat semua anak menambahkan ejekan baru baginya. Made si tukang bohong. Made yang disumpahi untuk mendapatkan balasan dari Tuhan atas semua kebohongannya. Betapa anak-anak bisa menjadi sangat kejam.

Betapa ketidakpahaman atas perbedaan kondisi status ekonomi di dunia nyata dapat membuat seorang anak dikucilkan.

Siapalah yang meminta untuk lahir di keluarga yang serba berkekurangan? Apalah yang bisa dia lakukan di usia sembilan tahun untuk mengubah kondisi keluarganya?

Dan di penghujung tingkat keempat pendidikan gw di SD tersebut, kami pun berpisah dengan Made.

Made tidak naik kelas. Kami semua naik kelas (secara harfiah, karena ruang kelas empat ada di lantai satu dan ruang kelas lima ada di lantai dua).

Di sisa tahun-tahun gw di SD tersebut, tak pernah lagi nama Made kami ucapkan. Kami semua lupa padanya. Siapalah Made, seorang anak yang berbeda dari yang lain. Sebutir debu yang tidak signifikan bagi anak-anak yang hidupnya selalu dipenuhi limpahan kebahagiaan orangtuanya.

Dan baru pada tahun-tahun berikutnya, saat kedewasaan datang, saat pengetahuan akan so-called kehidupan nyata datang, gw teringat pada Made. Teringat akan semua yang pernah gw lakukan. Sayangnya, ingatan itu disertai oleh penyesalan yang dalam, serta rasa tak berdaya karena mengetahui tak ada satupun hal yang bisa gw lakukan untuk menebus atau mengubahnya.

Entah dimana Made sekarang. Entah bagaimana hidupnya sekarang.

Sudah menjadi seorang ibu rumah tangga? Sudah menjadi wiraswastawati sukses? Sudah diperistri warga negara asing? Sudah berbahagia dengan kondisinya sekarang? Sudah menggantikan ayahnya menjadi penjual balon entah di mana?

Gw mungkin ga akan pernah tahu jawabnya. Atau mungkin saja suatu saat gw akan menemukannya.

Tapi di Natal ini, seperti di saat-saat lainnya gw melihat balon, ingatan akan Made kembali datang ke kepala gw.

1 comment:

meaning-finder said...

wah masi mending kamu inget Made, aku dah bener2 ga inget sama dia, wong sekelas juga cuma setaun, tapi kayaknya aku ga pernah ngejek sekayak gitu banget deh Sar, kamu kali yang lebay hehehe.this is a nice story