Friday, September 23, 2011

Guilty Conscience


Lama juga ga nulis. Bukan berarti ga ada yg bisa ditulis sih, tp kadang banyak yg terlalu pribadi untuk bisa ditulis di blog. Yg mw dtulis ini jg pribadi sih tp ga banget2 hehe.


Foto ini diambil 2 tahun yang lalu, usai acara pengambilan sumpah dokter. Di kiri gw adalah buyut, di kanan gw nenek, dan kedua-duanya masih sehat hingga sekarang, puji Tuhan.

Namun tentu saja kondisi buyut gw sudah sangat tidak maksimal.

Gw masih inget bgt jaman2 SD, dimana orang tua gw kerja dari pagi sampe sore, dan buyut serta nenek gw lah yang bergantian nemenin gw d rumah abis gw balik skolah. Biasanya pulang skolah gw makan siang trus tidur siang, dgn pengantar tidur berupa cerita dari mereka. Cerita bawang merah bawang putih, dan sejenisnya. Gw jg inget klo malem suka nemenin buyut gw minum jamu, bubuk yang dikasi air sehingga teksturnya jd semacem tanah liat, dbentuk jd 5 bola kecil, masing-masing dmakan bsama pisang supaya ga pahit.

Nenek gw sih skrg masih produktif, bisa masak dan melakukan pekerjaan rumah lainnya. Tapi buyut gw sejak bertahun-tahun lalu emg ud mengalami kemunduran fungsi. Pikun, pasti lah. Pendengaran dan penglihatan terganggu, dan sehari-harinya hanya berbaring di kamar.

Kadang gw berpikir, rasa bosan sebesar apa yg buyut gw rasakan. Menjalani hari-hari dimana qt g bisa melakukan apa-apa dan sangat dependen dengan orang lain. Ataukah demensia alias kepikunan jg bahkan telah menghapus kebosanan dari pikirannya? Karena bahkan buyut gw g bs membedakan apakah skrg siang atau malam.

Kadang gw pengin ngobrol sama buyut gw seperti jaman duluuuu gw masih kecil. Tapi pendengarannya ud sangat menurun shingga gw hrs setengah berteriak di telinganya, dan tidak ada cukup hal yg bisa diobrolkannya slain masa lalu.

Ada rasa bersalah yg muncul di hati. Karena gw seperti dengan sepihak menyatakan bahwa buyut gw tidak lagi relevan dengan masa kini. We live in the present. She lives in the past. We work, we learn, we have some goals to achieve, some businesses to take care of. She doesn't do those stuffs any longer. Dan perbedaan itu seperti membuat garis yang menidakmampukan gw untuk berusaha memahaminya dan mencoba mengertinya lagi, the way I could back then when I was a kid.

Thursday, January 6, 2011

Teknologi Mengeluh

Di hari-hari sekitar natal dan tahun baru kemarin, banyak ucapan-ucapan datang, baik dalam bentuk sms, BBM, ataupun broadcast message. Sekarang kayaknya udah kuno ajah gitu ya kalo beli kartu ucapan. Banyak berbagai jalan yang kayaknya bener-bener lebih praktis dan ga memakan waktu dan biaya untuk mengeksekusinya.


Dan kalo diinget-inget lagi sekarang, kadang gw sedikit takjub gimana caranya yah dulu gw berkomunikasi di jaman dimana ponsel belom ada. Media komunikasi yang paling canggih cuma telepon rumah. Katakanlah gw janjian ma temen-temen untuk ketemu di sekolah. Trus sesampainya di sekolah yang luas itu gw ga tau mereka ada di sebelah mana. Apakah gw akan berkeliling sekolah mencari mereka satu per satu? Pastinya iya ya,, Tapi kalo dipikir-pikir sekarang, itu kan ga praktis banget. Kalo ada ponsel mah tinggal sms atau telpon aja nanya mereka lagi di mana.


Belum lagi semisal qt udah bikin janji tapi tiba-tiba orang yang janjian ma qt tiba-tiba ada urusan laen dan harus membatalkan janji, padahal qt udah ada di perjalanan menuju tempat janjian tersebut. Pastinya qt ga akan tau kalo ada perubahan rencana sampai qt menunggu lama dan mulai bertanya-tanya kenapa temen qt itu ga dateng dan akhirnya qt putuskan untuk menelepon rumahnya.


Mungkin di masa itu qt jg ngerasa kesel, sebel, helpless, ingin menggerutu,, tapi apa daya ga ada pilihan lain ya ahaha. Dan yang jelas ga ada media seperti FB atau twitter dimana qt bisa menuliskan kekesalan yang lagi qt rasain.


Kalo gw kebetulan ‘berpapasan’ dengan akun ABG di FB atau twitter, gw gatel juga yah ngeliat betapa isinya dipadati dengan keluhan-keluhan atau ungkapan-ungkapan yang gw rasa terlalu berlebihan. Emang sih tujuan dari situs jejaring sosial itu adalah memberikan media bagi orang buat mengungkapkan apa yang ada di pikiran ke publik. Cuma kadang gw berpikir, seandainya situs semacam itu ga ada (seperti di jaman dulu), apakah keluhan-keluhan itu juga akan tetap mereka ungkapkan secara frontal dan eksesif?


I mean, yang namanya masalah sih dari jaman batu juga udah ada. Dan manusia harus berusaha untuk mengatasinya. Selama proses tersebut, pasti ada fase dimana qt ngerasa ga mampu dan ingin mengeluh. Tapi mungkin, mungkin loh,, karena sekarang media untuk mengungkapkan keluhan ke publik (dan memungkinkan publik untuk menanggapi keluhan qt) itu udah ada, maka hasrat untuk mengeluh (haha kalo salah baca jadinya ‘hasrat untuk melenguh’) jadi lebih besar.


Manusia ingin diperhatikan, ingin diberi simpati, ingin dihibur. Dengan menyampaikan keluhan di situs jejaring sosial, otomatis qt bisa lebih mudah mengundang teman-teman qt untuk menyatakan simpati terhadap masalah yang lagi qt alami. Dan umumnya, proses tersebut dilanjutkan dengan sesi dimana qt menanggapi ungkapan simpati teman-teman qt itu satu per satu (entah dengan membalas komen atau twit).


Efek yang mungkin muncul paling tidak ada dua. Pertama, qt terlalu sibuk untuk menanggapi dan membahas keluhan qt itu tanpa tergerak untuk benar-benar mencari solusi yang tepat. Qt terseret dalam euforia keluh kesah tersebut. Kedua, qt merasa ketagihan dengan proses tersebut dan menjadi terbiasa membesar-besarkan keluhan yang mungkin sebenarnya remeh saja, dengan tujuan mendapatkan simpati yang besar pula.


Memang tidak menutup kemungkinan ada di antara tanggapan-tanggapan teman-teman qt itu yang berisi saran untuk menyelesaikan masalah qt. Hanya saja, kadang gw liat orang-orang justru berusaha untuk menyanggah saran-saran yang masuk (‘Lo ga ngerti situasinya, gw ini bla bla bla,,’, ‘Gw udah coba kale ngelakuin itu, tapi justru tambah parahnya bla bla bla,,’) supaya pembahasan atas masalah yg lagi mereka alami makin berlarut, rame, dan seru.


Apakah fenomena yang gw liat itu simply karena mereka masih ABG (kali aja waktu gw ABG dulu lebih parah,,) atau karena emang teknologi yang mendukungnya? Masih butuh data yang lebih banyak dan akurat, ahaha,,

Friday, December 24, 2010

Made in Christmas

Pagi ini, masih terkantuk-kantuk, gw dibangunin jam 6.30. Hehehe buat apa lg kalo bukan ke gereja buat misa Natal.

Gw ke gereja ma nenek tersayang,, Dan seperti biasanya, misa yang diadakan pada tangal 25 Desember pagi biasanya didedikasiin buat anak-anak,, Koor diisi oleh anak-anak, khotbah diberikan dengan cara yang kekanak-kanakan (hehe, maksudnya diberikan dengan bahasa yang sederhana dan materi serta intonasi yang ditujukan untuk audiens anak-anak gitu,,). Dan tentu saja, di sekitar gereja banyak penjual makanan ringan serta berbagai barang yang diharapkan bisa menarik perhatian anak-anak. Salah satunya adalah,, balon.

Ya, balon berwarna-warni, diikat dengan tali kenur yang dikaitkan dengan sebuah kerikil sebagai jangkarnya agar si balon tidak melayang ke angkasa.

Entah kenapa, setiap melihat balon, ingatan gw langsung tertuju ke masa kanak-kanak gw di Sekolah Dasar. Bukan karena gw suka dengan benda yang satu itu. Bukan karena gw pernah trauma mengalami balon meletus di depan muka gw. Tapi karena seorang teman.

Made namanya.

Dia adalah teman sekelas gw sejak kelas 1 hingga kelas 4.

SD gw adalah SD swasta. Namun demikian, tidak seperti stereotipi yang diberikan pada SD swasta pada umumnya, SD gw bukanlah SD khusus orang kaya. Gw aja bisa masuk kesitu gtu loh. Tapi banyak juga orang-orang kaya yang lebih memilih untuk memasukkan anak-anaknya ke SD swasta daripada SD negri.

Dan banyak juga orang-orang yang tinggal di daerah sekitar SD tersebut yang tidak ingin menyekolahkan anak-anaknya di SD yang jauh (walaupun murah) karena faktor biaya transportasi yang dapat muncul karena jarak yang jauh tersebut. Orangtua Made salah satunya.

Akibatnya, SD gw adalah melting pot dari anak-anak kaya dan anak-anak miskin. Made bersekolah di SD yang tidak hanya berisi anak-anak yang tiap hari berjalan ke sekolah, berkulit gelap kusam, berseragam bekas dan kusut, bertas lusuh dan tidak bergambar karakter kartun yang sedang ngetop di masa itu.

Made hampir setiap hari berada di satu kelas bersama anak-anak yang berkulit putih dan wangi, berambut halus dan dihiasi bando atau pita indah, beralat tulis lengkap dari pensil mekanik hingga stabilo berwarna-warni.

Dan bagi sebagian anak-anak itu, Made adalah suatu keanehan.

Made kotor, Made bau, Made miskin, Made bodoh, Made kampungan.

Made, si anak penjual balon.

Ya, itulah sebabnya balon selalu mengingatkan gw sama Made.

Karena gw adalah salah satu dari anak-anak yang hampir setiap hari menyerukan hinaan tersebut kepadanya. Made si anak penjual balon di alun-alun.

[Gosh, I'm feel my tears brimmin' as I'm writin' this now.]

Sampai sekarang, gw masih merasa menyesal atas diri gw di masa SD itu. Gw memang bukan anak dari keluarga berada, tapi gw cukup beruntung menjadi anak yang selalu dapet ranking di kelas. Guru-guru suka ma gw, banyak yang mau jd temen gw, dan itu membuat gw sombong.

Gw masih inget, saat gw terpaksa harus duduk bersebelahan dengan Made. Apa yang gw lakukan? Dengan sengitnya gw menggoreskan garis di meja kayu itu dengan mistar besi gw, dan menyatakan di depan mukanya bahwa tidak ada satupun barang ataupun anggota tubuh yang boleh melewati batas diantara wilayah meja kami masing-masing. Dengan angkuhnya gw berusaha mencondongkan tubuh sejauh mungkin dari Made karena gw beranggapan Made bau.

Gw masih inget, saat suatu hari di kelas ditemukan sebotol air minum plastik yang di dalamnya terdapat beberapa ekor belatung. Siapa yang langsung menjadi terdakwa pemilik botol tersebut? Made. Semua langsung dengan mudahnya mengambil keputusan bahwa Made, dan hanya Madelah, yang mungkin memiliki barang yang menjijikkan itu.

Apakah Made diam?

Tentu tidak. Made berusaha berbicara untuk dirinya sendiri. Made berusaha untuk membalas setiap ejekan yang dilontarkan padanya.

Tapi apa yang Made punya? Amunisi ejekan apa yang dia punya?

"Hai, dasar kalian orang kaya"? "Hai, dasar kalian yang bermobil"? "Hai, kalian yang buku-bukunya bersampul indah da lembar-lembar di dalamnya putih, tebal, dan bersih"?

Semua counter-attack yang Made punya tentunya tak berarti sama sekali, karena memang dia berbeda dari yang lain. Dan apalah efeknya menyerukan perbedaan itu. Tetap saja Made yang menjadi korban.

Sampai akhirnya Made pun mengambil langkah lain. Dia berusaha menyamakan diri dengan lainnya. Menyatakan diri sebagai anak yang juga berada. Menceritakan kepemilikan hotel, villa, dan berbagai bangunan lain. Bersikukuh bahwa dia bukanlah anak miskin seperti yang dilabelkan padanya selama ini. Kebohongan yang sangat wajar untuk keluar dari seorang anak kecil yang selalu dan selalu dipojokkan dan didiskriminasi.

Tapi tentu saja semua itu cuma membuat semua anak menambahkan ejekan baru baginya. Made si tukang bohong. Made yang disumpahi untuk mendapatkan balasan dari Tuhan atas semua kebohongannya. Betapa anak-anak bisa menjadi sangat kejam.

Betapa ketidakpahaman atas perbedaan kondisi status ekonomi di dunia nyata dapat membuat seorang anak dikucilkan.

Siapalah yang meminta untuk lahir di keluarga yang serba berkekurangan? Apalah yang bisa dia lakukan di usia sembilan tahun untuk mengubah kondisi keluarganya?

Dan di penghujung tingkat keempat pendidikan gw di SD tersebut, kami pun berpisah dengan Made.

Made tidak naik kelas. Kami semua naik kelas (secara harfiah, karena ruang kelas empat ada di lantai satu dan ruang kelas lima ada di lantai dua).

Di sisa tahun-tahun gw di SD tersebut, tak pernah lagi nama Made kami ucapkan. Kami semua lupa padanya. Siapalah Made, seorang anak yang berbeda dari yang lain. Sebutir debu yang tidak signifikan bagi anak-anak yang hidupnya selalu dipenuhi limpahan kebahagiaan orangtuanya.

Dan baru pada tahun-tahun berikutnya, saat kedewasaan datang, saat pengetahuan akan so-called kehidupan nyata datang, gw teringat pada Made. Teringat akan semua yang pernah gw lakukan. Sayangnya, ingatan itu disertai oleh penyesalan yang dalam, serta rasa tak berdaya karena mengetahui tak ada satupun hal yang bisa gw lakukan untuk menebus atau mengubahnya.

Entah dimana Made sekarang. Entah bagaimana hidupnya sekarang.

Sudah menjadi seorang ibu rumah tangga? Sudah menjadi wiraswastawati sukses? Sudah diperistri warga negara asing? Sudah berbahagia dengan kondisinya sekarang? Sudah menggantikan ayahnya menjadi penjual balon entah di mana?

Gw mungkin ga akan pernah tahu jawabnya. Atau mungkin saja suatu saat gw akan menemukannya.

Tapi di Natal ini, seperti di saat-saat lainnya gw melihat balon, ingatan akan Made kembali datang ke kepala gw.

Tuesday, December 21, 2010

(Hampir) Dua Tahun

Meski nggak seheboh ibunya Kiki Fatmala (“,, duuuaa puluuh limaa tahuuunnn,,!!”) gw cukup kaget jg ngeliat ternyata blog ini udah ga keurus selama hampir dua tahun. Bahkan gw udah lupa password blogspot gw dan harus menjalani prosedur recoverynya, ahaha.



Kenapa ya sekitar tiga hari lalu tiba-tiba gw kepikiran untuk buka lagi blog ini? Hmm, awalnya gw di-tag oleh salah satu kenalan gw di FB yang tampaknya cukup aktif nulis di blog. Menurut gw sih tulisan dy enak dibaca. Kata-katanya sederhana dan cara berceritanya runtut. Walaupun dy suka tiba-tiba menggunakan huruf kapital di tengah-tengah kata atau kalimat, dan mengganti beberapa kata seenaknya sendiri (banget jadi banet, yang jadi iang,,). Otomatis gw jadi inget lah, kalo gw jg dulu kadang nulis di blog.



Reaksi pertama saat membuka kembali blog ini adalah kaget. Kaget karena gw bahkan lupa kalo gw pernah menulis beberapa postingan-postingan di blog ini. Seriusaan I was like, did I really write these stuffs? Did I really experience this shit back then? On the other hand, beberapa peristiwa yang gw tulis d blog ini justru serasa seperti baru kemaren terjadi. Rasanya baru kemaren gw tersungkur di ringroad akibat tabrakan motor dan dibawa ke puskesmas di deket situ. Rasanya baru kemaren gw merayakan tahun baru 2009 bareng temen-temen dengan pergi ke pantai trus dilanjut ke McD. N now 2011 is drawin’ near already! Isn’t it crazy,,



Selama hampir dua tahun, banyak yang udah terjadi, banyak yang berubah. Gw praktek di Jawa Barat, temen-temen juga udah pada kerja di berbagai penjuru negri, dunia mengenal iPad, abege2 ga lepas dari BB, istilah alay dipopulerkan, Justin Bieber lahir di dunia entertainment, smua orang berkicau di twitter (yang mana merupakan salah satu alasan gw males ngeblog =p),,



Dan selama hampir dua tahun, ada juga yang ga berubah. Temen gw Novel masih blom selse juga skripsinya, ahahaha,, temen gw si X dan Y masih aja pacaran, nenek dan buyut gw masih sehat walafiat (Thank God,, smoga slalu begitu J ),,



But in general, everything does change. Mungkin sedikit dan ga tampak, mungkin signifikan. Mungkin secara fisik (Novel menyatakan dirinya lebih langsing sekarang), mungkin secara psikologis. As for me, these past two years were full of events. New places, new people, new knowledge. Mungkin saat ngejalaninnya gw ga selalu ngerasa hepi dan antusias. Bahkan sering juga penuh kendala dan cobaan. But all’s well that ends well, rite? Pada akhirnya, saat kita melihat kembali foto-foto yang diabadikan saat kita menjalani pengalaman itu (atau kalo ga ada foto ya memori di otak kita lah), saat kita membicarakan lagi kejadian-kejadian itu bersama orang-orang yang bareng-bareng kita saat mengalaminya, yang akan muncul adalah hal-hal indah, kenangan-kenangan positif.



Gw ga tau knapa tapi saat menulis ini, yang muncul di kepala gw adalah bioskop-bioskop lama yang ada d Jogja (ahahaha apa deh yaa jauh banget kayaknya,, but wait, u’ll see the link). Di Jogja sekarang cuma ada dua bioskop, yakni Empire XXI dan Amplaz 21. Tapi sebenarnya, di Jogja dulu tuh banyak banget bioskop-bioskop, yang walo ga smua pernah gw samperin, tapi cukup melekat di ingatan (sekarang gw lagi ga di Jogja sih,, jadi ga bisa kasi foto-foto bioskop-bioskop yang bakal gw bahas ini).



Ada bioskop Ratih di Jalan Mangkubumi, di mana gw sering nonton bareng bokap nyokap. Gw masih inget dulu gw nonton Jurassic Park bareng bokap (gw lupa knapa tp yang jelas nyokap ga ikut nonton waktu itu). Di samping bioskop Ratih ada tempat makan es krim yang namanya Tip Top, dan abis nonton kita sering ke situ. Bahkan gw inget waktu kelas 4 SD gw pernah nonton ndirian d Ratih, jadi dianter ma bokap, trus gw dtinggal, n djemput stelah filmnya selse. Gw lupa judulnya tp itu film critanya tentang abege yang tersesat ke dunia laen yang dijaga oleh kanguru-kanguru yang jago kung fu.



Ada bioskop Soboharsono di samping SD gw, deket alun-alun utara. Kalo lagi plajaran olahraga, pasti kita lari keliling alun-alun, dan saat melakukannya kita pasti melewati bioskop itu. Di dekatnya ada bioskop Widya, yang berada di seberang bekas rumah nenek dan nyokap gw sebelum gw lahir.



Ada bioskop Mataram, yang sekarang udah ancur gara-gara tersapu angin puting beliung. Itu adalah satu-satunya bioskop di Jogja selama kurun waktu 90an hingga 2000. Di situ gw nonton petualangan Sherina dan AADC (antrenya gila-gilaan!).



Masih banyak lagi bioskop-bioskop yang entah masih aktif atau udah bangkrut (yang kalopun aktif jg muter film esek-esek ga jelas, mungkin masih muter film jadul dmana bintang ceweknya ga cukur bulu ketek --seriusan gw pernah liat di tivi ada film jadul dan si Sally Marcelina yang lagi pake gaun tidur kutung dengan pedenya ngangkat-angkat ketek berambut lebat,, yah gw ga yakin sih itu Sally, tapi dy kan ikon aktris esek-esek jadul--) tapi apapun kondisi mereka sekarang, yang gw inget tentang tempat-tempat itu yah hal-hal yang gw sebut di atas tadi. Hal-hal yang bisa dibilang ga negatif lah.



Gw ga tau sih apakah semua orang juga mengalami hal yang sama (mendapati hal-hal yang positif sebagai mayoritas penghuni ingatannya) tapi gw rasa itu patut disyukuri. Ingatan manusia emang ga panjang, tapi kalo ada hal-hal yang nyangkut di ingatan kita, alangkah bagusnya kalo hal-hal tersebut menyenangkan, lucu, dan bisa bikin tersenyum. =)



Wednesday, February 18, 2009

Mengisi waktu yang terasa lama

Sekarang ini, rata-rata traffic light udah pada pake countdown timer semua. Dan dulu, pertama2 liat timer ini, gw baru menyadari bahwa waktu yang dihabisin di lampu merah perempatan bisa mencapai 2 hingga 3 menit. Kadang, waktu selama nunggu lampu berubah jadi ijo itu bisa terasa cepet banget, malah ga terasa sama sekali. Tapi, kadang juga bisa terasa lamaaa banget. Dan gw mulai berpikir-pikir, apa aja yak kegiatan yang bisa dilakuin selama nunggu di lampu merah perempatan.

Matiin mesin sampe detik ke 20. Hehe yg ini mah sesuai sama himbauan pemerintah. Hemat bensin skalian ngurangin emisi buat ngurangin global warming.

Ngeliatin papan iklan. Di pojok2 perempatan kan banyak tuh papan-papan iklan. Kadang informasinya bisa berguna lho, dari pameran komputer, jadwal event di tempat-tempat dugem, konser musik, iklan tabloid atau majalah, sampe ada juga iklan kecil-kecil yg berisi nomer yg bisa dihubungin kalo mau gedein alat vital, gugurin kandungan,,
Btw, gw rada heran sama iklan shampoo Cle** di salah satu perempatan. Nicole Scherzingernya kok mukanya kayak di-bleach abis yak, jd putih banget, malah mirip ma Happy Salma,,

Ngeliatin papan ilan caleg parpol yg lagi ngetren bgt. Ya maklum aja sih namanya juga mau pemilu. Gapapa juga sih asal fotonya enak diliat. Emang sih tampangnya ga kayak seleb, tp jgn sampe juga mukanya bikin ngeri. Kebayang kan klo malem2 brenti di perempatan trus liat muka serem gede banget di depan muka kita.

Ngeliatin nomor polisi motor dan mobil. Sapa tau ada yang aneh-aneh, kayak AB 6 61 LA, AB 4 DI, B 45 I, B 8055 LU

Ngerokok, lumayan sempet beberapa isep.

Sibuk ngusir atau ngasih sedekah pengemis, pengamen, tukang lap motor atau mobil.

Ngeliatin bangunan-bangunan di sekitar perempatan, terutama temat tambal an, bengkel, warnet, kios, pom bensin,, siapa tau butuh entar.

Nge-countdown bersama timer,, ngitung bareng gitu, 65, 64, 63, 62, 61, 60, 59, 58, 57, 56, 55,,,,

Liat-liat orang di kiri kanan, siapa tau ada yang lumayan buat diajak kenalan, dikejar, dimintain tanda tangan,,

Bales sms-sms atau telepon temen, kalo ga ada sms masuk, ya kirim2 aja sms ke siapa gitu. Atau telepon temen, semenit dua menit, tanya, lagi apa, dimana, sama siapa.

Merenungi hidup. Misalnya knapa ya tadi gw g bisa ngerjain soal ujian, knapa ya nyokap pelit ama ngasih duit bulanan, knapa ya gw cakep tapi jomblo aja, knapa ya tampang tukang isi bensinnya tadi ngeselin banget, apa ya yang mau gw tulis di blog entar.

Berdoa supaya ga kejatuhan pup burung. Soalnya di beberapa perempatan yang deket sama hutan-hutan kota atau tempat yg banyak pohon, sering ada burung-burung mondar mandir dan buang kotoran seenaknya. Kayak yg terjadi sama gw kmaren, tepat di depan gw, Cuma selisih jarak 1 meter, tiba-tiba ada cairan ijo-putih jatuh dari atas. Dan karena kita ga mungkin bisa memprediksi atau mengkalkulasi dimana si burung akan menjatuhkan bomnya, maka satu-satunya usaha yang bisa kita lakukan adalah berdoa.

Apa lagi yak yg bisa dilakuin, sementara baru itu sih yang kepikiran hehe. Tar kalo ada lagi dan kalo gw masih niat nulis disambung lagi,,

Tuesday, February 17, 2009

Rasanya gw gag secupu itu deh

Kmaren kbetulan gw maen k rumah tmen di daerah gejayan. Malem itu kosnya tmen gw emg lagi rame, n bhubung itu kos campuran, kadang ad tmen2 cew tmen gw yg lalu lalang, n tmen gw (cow) ngenalin gw ma beberapa di antara mereka.

Anak2nya sih rame2, asik2, welcome bgt dah ma gw. Trus qta ngobrol2 juga gitu, dan akhirnya salah 1 di antara mreka bertanya,

"Kuliah dmana?"

"Di UGM."

"Ambil apa?"

"Kedokteran."

"Kedokteran apa? Umum? Gigi?"

"Kedokteran umum."

"Oh, angkatan brapa? 2007 ya?"

Kaget bgt gw!!!

* Buat yg blum kenal gw, patut diinformasikan di sini bahwa gw adalah anak kedokteran umum angkatan 2003, berusia 22 tahun, yang abru saja tanggal 5 Februari kemarin dilantik menjadi seorang dokter. Jadi, asumsi tmen cew td bahwa gw angkatan 2007 itu meleset cukup jauh.

Emg tampang gw secupu itu yaa?

Klo diinget2 lagi, emg ada beberapa pengalaman gak menyenangkan terkait hal tersebut.

Yang pertama.

Waktu itu gw masih jadi ko-as di RS Sardjito. Gw lagi jalan di lorong RS, siang-siang, dan berpapasan dengan dua orang ibu-ibu yang lagi jalan sambil asik bergosip. Segera setelah kita saling melewati, salah satu dari ibu2 tersebut berkata dengan cukup keras, "Dokter sekarang kok masih pada kecil-kecil ya?"

Yang kedua.

Waktu itu gw ngegantiin dokter jaga di klinik daerah Kotagede. Di situ, gw dibantu seorang ibu perawat yg baek dan ramah. Kita pun ngobrol2. Sampai tiba2 dia berkata, "Emm, saya panggilnya pak dokter, atau mas dokter? Kayaknya kok dek dokter aja ya,,"
Baguuusss,,

*Ngomong2, tadi siang waktu gw di perpus, ada dua org tmen gw yg juga sering ngegantiin dokter jaga di beberapa klinik. Mereka membicarakan tentang bagaimana mereka masih dipanggil "Mas" dan "Mbak" saat praktek. Mereka rada bete, coz seakan2 gak dianggep dokter bneran gtu. Gw pun bersembunyi, takut ditanyai "Klo kamu gimana?" karena gw harus menjawab dgn jujur klo gw dipanggil "Dek",, hufft,,

Yah, sbenernya panggilan g masalah sih, yg penting pada akhirnya gw bs menangani pasien dgn baek. Perawat yg d klinik tadi pun jg percaya sepenuhnya kok sama kinerja gw. Begitu jg perawat d klinik lainnya. Bagus deh, karena walaupun emg gw masih baru, tp gw berusaha sepenuhnya bwt ngasih penanganan yg tepat.

Tapi tetep aja,, masa dikirain angkatan 2007? Cupu amaaat,,

Wednesday, February 4, 2009

Cuma dua ribu perak, tapi napa rasanya gw ga iklas,,??

I don’t hate spending money, but I do hate spending money for nothing. (I believe that’s what each n every sane Homo sapiens would think of, too)


Sore ini gw ke warnet, tepatnya Rama net di daerah Seturan.


Pertama gw masuk, tentu saja operator menyapa, “Selamat sore, mau akses? Smoking, non smoking? Ada kartu member?”


Jawab gw, “Non smoking. Gw ada kartu member Rama net yang d Jalan Kaliurang.”


Mbaknya bilang, “Oh maaf mas, kartu membernya nggak bisa dipakai di sini mas.”


*What? Bukannya mereka satu induk ya? Kok bisa ada inkoordinasi gini sih? Kartu Centro aja bisa dipakai se-Indonesia?


Akhirnya gw pun mengakses sebagai non member. Gw buka facebook,. friendster, dan blogspot. Semenit, dua menit berlalu, dan layar putih dengan tulisan “waiting for friendster/facebook/blogger.com” terpampang di sisi kiri bawah. Gw pun mengetik di chatbox dengan operator.


“Mbak, kok lemot? Box 17.”


Sepuluh, dua puluh detik, ga ada jawaban. Hmmm.


ERROR: The requested URL cannot be retrieved muncul di layar komputer. What the,,?


Kembali gw mengetik di chatbox.


“Mbak, kok udah 5 menit ga ada page yg bisa dibuka?”


Another ignored question.


Ga sabaran, gw pun datengin tu mbak-mbak di depan.


“Mbak, kok ga bisa dibuka websitenya?”


Mbaknya dengan tanpa dosa menjawab, “Iya mas, lagi down internetnya.”


*And couldn’t u type in that fu*kin chatbox to gimme such a lame excuse? Did it take me standin before ur moronic face to get u answerin that question?


Gw pun dengan geram balik ke box gw, mencabut flashdisc, menekan tombol sign out, dan kembali ke operator.


Mbaknya dengan muka polos berkata ringan, “Seribu, mas.”


*Please forgive my excessive positivity. But I thought she had known that I barely opened a single web page?! Of note, waktu di Hijau net Jalan Monjali terjadi hal yg sama, gw dibebaskan dr kewajiban membayar karena masnya tau gw ga bisa buka website apapun, secara koneksinya emg ga ada!


Gw jawab, “Tapi gw blom buka sama sekali, kan koneksinya down?”


Mbaknya ketawa bodoh, “Hehe.”


Kayaknya ga ada niatan mbaknya buat menggratiskan 10 menit kesia-siaan gw di warnet itu,, So gw pun menyerahkan lembar seribuan sama dia. “Makasih mas. Maaf ya.”


Gw pun turun ke bawah buat segera mengambil motor dan cabut dari tempat laknat itu. Baru aja gw mendekati motor, si tukang parkir dengan tergopoh-gopoh datang mendatangi gw. Huff. Gw pun menyerahkan lembaran seribuan sama tu tukang. Dia nyengir bego, sok-sok membantu gw ngeluarin motor dengan memegang-megang bagian belakang motor gw.


Pfft, gw ga akan datengin warnet sial itu lagi!!