Thursday, January 6, 2011

Teknologi Mengeluh

Di hari-hari sekitar natal dan tahun baru kemarin, banyak ucapan-ucapan datang, baik dalam bentuk sms, BBM, ataupun broadcast message. Sekarang kayaknya udah kuno ajah gitu ya kalo beli kartu ucapan. Banyak berbagai jalan yang kayaknya bener-bener lebih praktis dan ga memakan waktu dan biaya untuk mengeksekusinya.


Dan kalo diinget-inget lagi sekarang, kadang gw sedikit takjub gimana caranya yah dulu gw berkomunikasi di jaman dimana ponsel belom ada. Media komunikasi yang paling canggih cuma telepon rumah. Katakanlah gw janjian ma temen-temen untuk ketemu di sekolah. Trus sesampainya di sekolah yang luas itu gw ga tau mereka ada di sebelah mana. Apakah gw akan berkeliling sekolah mencari mereka satu per satu? Pastinya iya ya,, Tapi kalo dipikir-pikir sekarang, itu kan ga praktis banget. Kalo ada ponsel mah tinggal sms atau telpon aja nanya mereka lagi di mana.


Belum lagi semisal qt udah bikin janji tapi tiba-tiba orang yang janjian ma qt tiba-tiba ada urusan laen dan harus membatalkan janji, padahal qt udah ada di perjalanan menuju tempat janjian tersebut. Pastinya qt ga akan tau kalo ada perubahan rencana sampai qt menunggu lama dan mulai bertanya-tanya kenapa temen qt itu ga dateng dan akhirnya qt putuskan untuk menelepon rumahnya.


Mungkin di masa itu qt jg ngerasa kesel, sebel, helpless, ingin menggerutu,, tapi apa daya ga ada pilihan lain ya ahaha. Dan yang jelas ga ada media seperti FB atau twitter dimana qt bisa menuliskan kekesalan yang lagi qt rasain.


Kalo gw kebetulan ‘berpapasan’ dengan akun ABG di FB atau twitter, gw gatel juga yah ngeliat betapa isinya dipadati dengan keluhan-keluhan atau ungkapan-ungkapan yang gw rasa terlalu berlebihan. Emang sih tujuan dari situs jejaring sosial itu adalah memberikan media bagi orang buat mengungkapkan apa yang ada di pikiran ke publik. Cuma kadang gw berpikir, seandainya situs semacam itu ga ada (seperti di jaman dulu), apakah keluhan-keluhan itu juga akan tetap mereka ungkapkan secara frontal dan eksesif?


I mean, yang namanya masalah sih dari jaman batu juga udah ada. Dan manusia harus berusaha untuk mengatasinya. Selama proses tersebut, pasti ada fase dimana qt ngerasa ga mampu dan ingin mengeluh. Tapi mungkin, mungkin loh,, karena sekarang media untuk mengungkapkan keluhan ke publik (dan memungkinkan publik untuk menanggapi keluhan qt) itu udah ada, maka hasrat untuk mengeluh (haha kalo salah baca jadinya ‘hasrat untuk melenguh’) jadi lebih besar.


Manusia ingin diperhatikan, ingin diberi simpati, ingin dihibur. Dengan menyampaikan keluhan di situs jejaring sosial, otomatis qt bisa lebih mudah mengundang teman-teman qt untuk menyatakan simpati terhadap masalah yang lagi qt alami. Dan umumnya, proses tersebut dilanjutkan dengan sesi dimana qt menanggapi ungkapan simpati teman-teman qt itu satu per satu (entah dengan membalas komen atau twit).


Efek yang mungkin muncul paling tidak ada dua. Pertama, qt terlalu sibuk untuk menanggapi dan membahas keluhan qt itu tanpa tergerak untuk benar-benar mencari solusi yang tepat. Qt terseret dalam euforia keluh kesah tersebut. Kedua, qt merasa ketagihan dengan proses tersebut dan menjadi terbiasa membesar-besarkan keluhan yang mungkin sebenarnya remeh saja, dengan tujuan mendapatkan simpati yang besar pula.


Memang tidak menutup kemungkinan ada di antara tanggapan-tanggapan teman-teman qt itu yang berisi saran untuk menyelesaikan masalah qt. Hanya saja, kadang gw liat orang-orang justru berusaha untuk menyanggah saran-saran yang masuk (‘Lo ga ngerti situasinya, gw ini bla bla bla,,’, ‘Gw udah coba kale ngelakuin itu, tapi justru tambah parahnya bla bla bla,,’) supaya pembahasan atas masalah yg lagi mereka alami makin berlarut, rame, dan seru.


Apakah fenomena yang gw liat itu simply karena mereka masih ABG (kali aja waktu gw ABG dulu lebih parah,,) atau karena emang teknologi yang mendukungnya? Masih butuh data yang lebih banyak dan akurat, ahaha,,

No comments: